Penjaga Mercusuar
episode
I
BAB
I
Sepi
8 Bulan
29.04.11
Sebut
saja nurani yang terbelengkalai oleh pacuan waktu yang itu dan itu saja, jiwa
entah kemana dan siapa disana yang menunggu sapaku? Adalah nurani yang
dikekerkan alam, nurani bercampur duka oh duka, aku tinggal menunggu datangnya
sebab dan olehnya terjebak kekisruhan yang mententramkan diam, dimana-mana diam
dan ramai adalah diam, surga adalah diam, telapak kaki ibu adalah diam, dan
kaupun diam, dimana diam, hendak kucari dan menemui puas, disana di pulau
berbisik diam, hangat berdiam seorang renta, penjaga mercusuar pulau mati…
Telah separuh abad kutinggal
bersama angin, ombak sebagai teman malam-malam ditepi gusar, tak lagi ada
keramaian disini, tak lagi ada gurau bersama kopi hitam yang ditawarkan
kepadaku, semua hanya terdiam dipulau tak berpenghuni, kapal-kapal tak tentu
berlabuh dan itu hanya sementara jika
melabuhkan hatinya. Hendak kemana lagi mataku tertuju, penuh pelangi pagi,
penuh embun pagi, penuh gelap malam-malam. Semakin gusarkah tanya malam kepada
diri? Y, sebab kurindu keramaian pada liang kata-kata, kurindu kertas putih
tanpa basah.
Telah renta kutuliskan per bait
cerita hari, ungtunglah Tuhan tak mengehentikan otakku untuk menuliskan apa-apa
yang ada, cerita tentang negeri awan yang dibawa gusar menjadi awal malam-malam
tak berbintang, dimana lagi sepi menjadi penghias tabir gemulai wajah lugu,
dipoles rindu, istriku aku merindumu…aku ingin pulang.
Seperti biasa, malam mengantar
tanganku untuk mengawasi lautan, lampu sorot yang mencekam seakan mencari
kehidupan dilaut, tak kutemukan. Laut sepi, ombak sepi, wahana sepi. Serta tak
terasa selama 30 menit aku tulisan cerita tentang keluarga yang diujung
marauke, biarlah nak ayahmu mencari uang halal dengan nyawa lunglai. Doakan selalu
sepi menjadi wajah-wajah yang ramai, ayah ingin kembali tahun depan. Menjemput
bersama dan menemui keindahan dikampung bersama-sama lagi seperti sedia kala.
Kurindu lunglai ditengadah padang
padat oleh hijau, wajah-wajah desa yang mekar di pelepah hari, senyum yang
merekah disubuh, larian anak-anak dilapangan sedia kala. Disana ya disanalah
tempat berlabuh antara kehidupan abadi, bukan disini.
Tuhan aku remukan tubuhku disini,
maafkan hamba secerca kata tak pantas kulontarkan. Apalah daya jika terus hidup
dengan sepi dan aku ingin robohkan mata angin, robohkan jiwa penat dan terbang
bebas kearah yang Kau tunjuk.
Disini terlalu jauh aku
bersemayam, siapa yang sanggup mengantarkan nyawa hingga tinggal sia-sia, ah
aku harus cepat selesaikan tugas ini. Mencari penggantiku dan saat yang tepat
aku akan menemui seluruh keluarga di kota sapa.
29.04.11
Sumatera Barat adalah gantung
nyawaku, lahir oleh ketidakpuasan, dibuang tanpa kata, hinalah aku yang
terlahir tanpa mengenal sosok itu, siapa aku dan siapa nurani?
Sudah cukup kutelan luka bersama
dinginnya malam, suka adalah tawa yang bercampur arus rindu ya rindu. Ibu dan
ayah adalah semu dan tak berwujud. Disini atau disana, sama saja. Pekan semakin
menjadi-jadi, diambang menjadi-jadi, lirik hidup semakin mistis. Seakan
dihantarkan keruang terang dan gelap tertinggal di jari-jari. Selamat datang
dikota baru.
Dibumi ini sudah banyak manusia
yang kenyang dengan biadab hina, termasuk akulah hina, dan peminta diujungg
jalan pada remaja yang tak pernah memeluk kasih dan kisah. Janganlah kau gusar anakku, ini hanya
sebuah cerita dan esok engkau akan lebih kokoh beranjak tapak melebihi ayahmu.
Memang kau pahlawan kecilku tiada lagi selainmu, ingatlah tentang cerita hari
yang berangsur-angsur penuh elegi namun romantis. Karena puisi tak meminta
paksaan karenanyalah ia kenyang akan diksi dan teguklah perlahan akan ditemukan
arti yang mencekam, seperti dirimu bertalu-talu dengan senar gigimu, bermain
jari-jarimu ditengah manusia. Adakah segenggam harap yang ingin kau ceritakan
kepada ayah, disini atau nanti di nisan yang bertuliskan nama ayah serta puisi
yang mewah menjadi riasan dibawahnya. Bicaralah apa adanya. Sebelum fajar mulai
mengigit langkah, mulailah sekarang gapai asamu.
Hari ini sangat ramai, entah
kapal-kapal siapa yang berlabuh untuk sementara waktu dipulau nihil ini. Aku
tetap diatas hingga semuanya berlabuh. Dua kapal mulai mendekat ke dermaga.
Berlambang cokelat bendera emas. Entah asing juga kulihat, wajahh putih, kulit
putih. Jelas ini penjajah dulu. Mau apa mereka berkunjung ke pulau ini, atau
ada maksud yang ingin dicari. Ya pulau sepi penghuni tiba-tiba ramai dihari
yang sama. Apakah doaku terwujud ya Tuhan.
Cepat-cepat aku turunin anak
tangga berjumlah 79 buah, ini merupakan hal yang luar biasa. Aku akan menemui
berbagai manusia stekah 8 bulan sendiri tanpa penghuni yang dating ke pulau
ini, hah.. lelah kulewati anak tangga, jangan kuatir aku masih kuat meski tubuh
telah renta dimakan usia. Pintu masuk kubuka lebar, kulihat mereka menurunkan
barang-barang. Beberapa sibuk mengikat kapal-kapal mereka. Dengan gemertar dan
kaku kudekati mereka. Bingung apa yang mau kukatakan, tersenyum sajalah.
Salah seorang dari mereka
memanggilku dari arah kiri, hei pak..
Ya…
Kesini pak, are you work in here?
Hah bahasa inggris pula, aduh aku
mana mengerti bahasa penjajah ini.kujawab saja
Yes
sir…
Ohh..great, can you help me for
go to this place?
Maaf,
bisa bahasa Indonesia tuan?
oo..maaf, saya lupa..bisa-bisa.
Saya mau ke daerah gulo-gulo. Ini daerah apa jauh dari sini pak?
Kurang
lebih 45 menit tuan, cukup jauh juga. Ada apa dengan daerah itu tuan?
Kami hanya ingin melihat
pemandangan disana, katanya sangat indah.
Iya
benar tuan, tapi begitu sepi dan tak ada penghuninya, para warga desa sudah
pindah ke kota. Penuh
misteri disana.
Iya, tidak apa-apa pak, kami bawa
banyak teman. Terima kasih pak
Ehm..maaf
pak, tapi saya tidak bisa mengantar kesana, saya sendirian di mercusuar ini.
Tuan ikuti saja jalan lurus kearah pohon pinus, ada jalan
yang terarah ke desa itu.
Oo begitu, iya pak tidak masalah.
Terima kasih pak. Maaf saya belum kenal nama bapak siapa?
Sambil disodorkannya tanggannya
kearahku, nama saya Wilhem
Saya
Bagaskara tuan.
Baik, pak Bagaskara, kalau begitu
kami menitip kapal disini untuk beberapa hari. Kami mohon pamit pak.
Hati-hati
tuan.
Perjalanan atau semacam ekspedisi
khusus entahlah, mereka berjumlah 57 orang bertujuan ke desa gulo-gulo. Entah
apa yang mereka cari. Bagiku itu sebuah desa mati dan tidak indah sedikitpun,
dasar manusia yang aneh. Ada-ada saja ingin kesana.
Aku kembali melanjutkan ke atas,
kembali untuk istirahat. Hari ini luar biasa, ada yang berkunjung ke pulau ini
meski kujumpai hanya sementara waktu, tapi ini sudah membuat hatiku riang. Sepi
pergilah aku tak sunyi lagi sekarang.
Ah, empuknya kasur lipatku.
Saatnya beristirahat dengan lelah, sebelum matahari terbenam harus kembali
bekerja.
Entah kenapa didalam tidur yang
hanya beberapa saat, termimpi tentang
anak dan sitriku yang menderita dikampung halaman, mereka menjerit teriak
namaku, Ayah! Ayah!.. kembali kesini, kami diusir dari kampung, ah, semoga saja
hanya mimpi, tidak nyata tidak nyata. Ini mungkin karena kerinduan yang
memuncak hingga terbawa mimpi. Entah sebesar apa anakku sekarang, apa ia telah
menemukan hobinya sekarang, apa telah bisa bertarung melawan waktu. Semoga
semua yang kuimpikan menjadi nyata di awal tahun sepulangnya kekampung halaman.
Awal tahun 1994 ini adalah awal
yang baik untuk meminta izin selama seminggu kepada bos, aku ingin menemui
keluargaku, kurindu semuanya, hah terasa dekat sangat dekat. Tinggal sehari
lagi, setelah itu. Aku akan memutuskan untuk kembali kesini atau tetap tinggal
meneruskan sisa hidup dikampung halaman bersama keluarga tercinta. Kira-kira apa yang dapat kuberikan sebagai
buah tangan sebagai kado selama 8 bulan tak pulang ya, ah..sepertinya
batu-batuan pantai yang beraneka jenis. Aku ingin membawa banyak kali ini,
untuk tetangga dan kerabatku. Mulai kuturuni anak tangga menuju ke pantai
sebelah, disini terkumpul banyak sekali batuan alami, ada yang hampir mirip
batuan garnit yang terkena cahaya sangat indah. Ini ada banyak, syukurlah. Akan
kubawa beberapa sebagai buah tangan, maklum gaji ini belum dapat membeli
barang-barang untuk dijadikan buah tangan, terkadang saja aku tidak makan
selama dua hari. Itu dikarenakan catering yang sudah jenuh memberiku hutang.
Aku seringkali menghutang untuk makan, setiap awal bulan barulah kubayarkan
semua. Ini seperi gali lobang tutup lobang. Hidup harus dijalani terus, sebelum
semuanya berakhir. Tanpa menyerah akan terus kuusahakan jerih payah ini kepada
keluarga, semua hanya untuk keluargaku. Semua untuk mereka. Semoga mereka tetap
menungguku. Ya aku rindu.
Bab II
Kampung
Perjalanan
menuju kekampung halaman kutempuh selama 36 jam, sangat jauh. Tidak masalah ini
yang kutunggu selama berbulan-bulan. Perjalanan menuju pangkalan bis ditempuh
sejauh 300 meter, cukup melelahkan, aku berjalan sanggup pula kulihat
macam-macam keindahan tanaman menjadi penghias menuju pangkalan bis.
Perjalanan
yang sangat panas membuat hari ini semakin membakar semanagatku, tak sabar
untuk segera sampai dirumah. Akhirnya
sampai pada pangkalan bis, aroma hangat perjalanan panjang sungguh pekat tidak
ada lagi keraguan akan apapun itu. Meski aku hany membawa tabungan sebesar 2
juta, kurasa cukup untuk membahagiakan keluargaku. Semoga mereka dapat
memelukku sehangat dahulu. Aku tidak berubah, ya aku tak berubah. Hanya saja
wajahku terlihat keriput ditelan kesendirian terasing dalam mercusuar yang
sepi.
Tiket
dari pulau teram ke sumatera barat sebesar Rp.400.000, untunglah tidak terlalu
mahal. Hingga sisa uangku sebesar Rp. 1.600.000 cukuplah. Dua tas kutitipkan
dibagasi, satu baju dan satunya lagi adalah buah tangan yang cukup banyak untuk
dibbagikan kesemua tetangga dan kerabat. Akulah kado istimewa bagi keluargaku,
anakku maafkan ayah baru bisa kembali saat ini. Ini kejutan buatmu sayang.
Mendapat tiket bernomor urut 35, untunglah tidak dipaling belakang bisa mebok
nanti. Jumlah penumpang 45, memang tidak terisi semua. Untunglah bis segera
berangkat dan berlaju cukup kencang. Doaku dimulai untuk keselamatan perjalanan
dan keluargaku. Semoga seluruh cintaku baik-baik saja disana. Melewati kota
Aceh membuatku kagum akan segala kemajuan yang terjadi, sungguh diluar dugaan
banyak gedung-gedung tinggi, mall-mall mewah berdiri di kota ini. Maklum aku
hanya berkutat dipulau sendiri, tak tahu apa yang terjadi diluar.
Orang-orang
sibuk melihat bis ini, memang bis membuat hati para pendatang menjadi terketuk
hatinya untuk kembali, mungkin saja mereka sama sepertiku orang yang merantau
jauh dari daerah asal.
Seorang
wanita renta duduk disebelahku, nenek tua yang sangat kuat. Ia diam sedari tadi
entah apa yang dipikirkannya. Aku ingin memulai pembicaraan, mencoba mengenal
dan menghilangkan penat.
Nek.
Mau kemana?
Saya
mau pulang kerumah nak. Kamu mau kekampung juga?
Ya
nek, saya sudah lama tidak pulang, kangen dengan keluarga.
Syukurlah,
jika kau masih ingat kampung nak, banyak anak muda yang melupakan tanah
kelahiran mereka, dan satu lagi beruntung dirimu masih mempunyai keluarga tidak
seperti nenek.
Memang
ada apa nek dengan keluarga nenek?
Keluarga
nenek sudah habis nak…mereka meninggal.
Innailahi…maafkan
saya nek, saya tidak bermaksud. Maaf nek, tabahlah nek, mungkin sudah jalan
yang diatas. Boleh saya tahu meninggal karena apa nek?
Mereka
ditelan arus nak, semuanya habis. Anak, cucu dan cicit nenek. Tinggal nenek
sendirian, nenek ingin berkunjung ke makam mereka dikampung.
Kalau
begitu saya antarkan nenek kekampung. Dimana kampung nenek?
Batusangkar
nak, kamu dimana?
Apa
nek, batusangkar!
Aku terkejut mendengarnya,
batusangkar. Itu kampung halamanku. Ada apa ini, perasaan bercampur aduk.
Ya,
batusangkar..kenapa nak?
Itu
kampung saya juga nek, keluarga saya disana semua. Saya besar dikampung dan
merantau kesini sejak umur 30 tahun. Jika benar kejadian tersebut, apa keluarga
saya selamat nek? Saya tak sanggup mendengar cerita nenek.
Berdoalah
nak, semua ada dihatimu, berdoalah agar semuanya baik-baik saja. Pikirkan
positif dan buatlah harapan ke keluargamu.
Ya
nek, saya harap begitu.
Perasaanku
semakin tak menentu mendengar kejadian bencana yang terjadi di kampungku, jika
saja ini tak kudengar maka tak akan bercampur aduk pikiran ini. Sebuah perjalanan yang memang menguras beban
pikiranku saat ini, ya Allah lindungilah seluruh keluargaku, hanya kepadaMulah
aku memohon. Aku takut, aku takut sekali kehilagan mereka. Memang salahku
menjauh sebagai kepala keluarga dan membiarkan anak istri dikampung, aku memang
bersalah sebagai seorang suami.
Kali
ini sudah harus kubulatkan tekad untuk tidak kembali ke mercusuar itu, aku
ingin merajut hari-hari tua bersama anakku serta istri yang setia dengan
hari-hari. Kenapa aku tidak memikirkan mereka, apa firasatku telah mati sampai
saat ini, ah tidak. Aku hanya asyik dengan pekerjaan dan kesendirian membuatku
terlena. Subahannallah, aku bersalah sampai detik ini. Uang yang kukirmkan saj
tidak mencukupi untuk keluarga, kenapa aku pecundangi diriku snediri. Bekerja
menjauh dengan gaji yang kecil. Apa tidak ada pekerjaan lain? Apa diri ini
tidak mampu mencari pekerjaan yang pantas yang berada didekat rumah? Semuanya
adalah pertanyaan-pertanyaan yang membunuh pikiranku, sendiri membuatku tetap
berkutat pada itu-itu saja. Pikiranku tak terkembang, ditelan lautan sepi dimalam
hari. Semoga ini merupakan petunjukMu ya Allah, aku iingin kembali.
Kembali
menyudahi semua dan memulai sesuatuu yang baru, seperti kelahiran tawaku
kembali. Kampungku aku kembali, sambutlah aku beberapa jam lagi.
Saksikan kelanjutannya pada bulan Februari 2012, pada peluncuran Novel ini...terima kasih telah berkunjung...jangan lupa komentarnya ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar