Sabtu, 17 Desember 2011

Penjaga Mercusuar


Penjaga Mercusuar
episode I
BAB I
Sepi 8 Bulan
29.04.11
Sebut saja nurani yang terbelengkalai oleh pacuan waktu yang itu dan itu saja, jiwa entah kemana dan siapa disana yang menunggu sapaku? Adalah nurani yang dikekerkan alam, nurani bercampur duka oh duka, aku tinggal menunggu datangnya sebab dan olehnya terjebak kekisruhan yang mententramkan diam, dimana-mana diam dan ramai adalah diam, surga adalah diam, telapak kaki ibu adalah diam, dan kaupun diam, dimana diam, hendak kucari dan menemui puas, disana di pulau berbisik diam, hangat berdiam seorang renta, penjaga mercusuar pulau mati…

Telah separuh abad kutinggal bersama angin, ombak sebagai teman malam-malam ditepi gusar, tak lagi ada keramaian disini, tak lagi ada gurau bersama kopi hitam yang ditawarkan kepadaku, semua hanya terdiam dipulau tak berpenghuni, kapal-kapal tak tentu berlabuh dan itu hanya sementara  jika melabuhkan hatinya. Hendak kemana lagi mataku tertuju, penuh pelangi pagi, penuh embun pagi, penuh gelap malam-malam. Semakin gusarkah tanya malam kepada diri? Y, sebab kurindu keramaian pada liang kata-kata, kurindu kertas putih tanpa basah.
Telah renta kutuliskan per bait cerita hari, ungtunglah Tuhan tak mengehentikan otakku untuk menuliskan apa-apa yang ada, cerita tentang negeri awan yang dibawa gusar menjadi awal malam-malam tak berbintang, dimana lagi sepi menjadi penghias tabir gemulai wajah lugu, dipoles rindu, istriku aku merindumu…aku ingin pulang.
Seperti biasa, malam mengantar tanganku untuk mengawasi lautan, lampu sorot yang mencekam seakan mencari kehidupan dilaut, tak kutemukan. Laut sepi, ombak sepi, wahana sepi. Serta tak terasa selama 30 menit aku tulisan cerita tentang keluarga yang diujung marauke, biarlah nak ayahmu mencari uang halal dengan nyawa lunglai. Doakan selalu sepi menjadi wajah-wajah yang ramai, ayah ingin kembali tahun depan. Menjemput bersama dan menemui keindahan dikampung bersama-sama lagi seperti sedia kala.
Kurindu lunglai ditengadah padang padat oleh hijau, wajah-wajah desa yang mekar di pelepah hari, senyum yang merekah disubuh, larian anak-anak dilapangan sedia kala. Disana ya disanalah tempat berlabuh antara kehidupan abadi, bukan disini.
Tuhan aku remukan tubuhku disini, maafkan hamba secerca kata tak pantas kulontarkan. Apalah daya jika terus hidup dengan sepi dan aku ingin robohkan mata angin, robohkan jiwa penat dan terbang bebas kearah yang Kau tunjuk.
Disini terlalu jauh aku bersemayam, siapa yang sanggup mengantarkan nyawa hingga tinggal sia-sia, ah aku harus cepat selesaikan tugas ini. Mencari penggantiku dan saat yang tepat aku akan menemui seluruh keluarga di kota sapa.
29.04.11
Sumatera Barat adalah gantung nyawaku, lahir oleh ketidakpuasan, dibuang tanpa kata, hinalah aku yang terlahir tanpa mengenal sosok itu, siapa aku dan siapa nurani?
Sudah cukup kutelan luka bersama dinginnya malam, suka adalah tawa yang bercampur arus rindu ya rindu. Ibu dan ayah adalah semu dan tak berwujud. Disini atau disana, sama saja. Pekan semakin menjadi-jadi, diambang menjadi-jadi, lirik hidup semakin mistis. Seakan dihantarkan keruang terang dan gelap tertinggal di jari-jari. Selamat datang dikota baru.
Dibumi ini sudah banyak manusia yang kenyang dengan biadab hina, termasuk akulah hina, dan peminta diujungg jalan pada remaja yang tak pernah memeluk kasih dan  kisah. Janganlah kau gusar anakku, ini hanya sebuah cerita dan esok engkau akan lebih kokoh beranjak tapak melebihi ayahmu. Memang kau pahlawan kecilku tiada lagi selainmu, ingatlah tentang cerita hari yang berangsur-angsur penuh elegi namun romantis. Karena puisi tak meminta paksaan karenanyalah ia kenyang akan diksi dan teguklah perlahan akan ditemukan arti yang mencekam, seperti dirimu bertalu-talu dengan senar gigimu, bermain jari-jarimu ditengah manusia. Adakah segenggam harap yang ingin kau ceritakan kepada ayah, disini atau nanti di nisan yang bertuliskan nama ayah serta puisi yang mewah menjadi riasan dibawahnya. Bicaralah apa adanya. Sebelum fajar mulai mengigit langkah, mulailah sekarang gapai asamu.

Hari ini sangat ramai, entah kapal-kapal siapa yang berlabuh untuk sementara waktu dipulau nihil ini. Aku tetap diatas hingga semuanya berlabuh. Dua kapal mulai mendekat ke dermaga. Berlambang cokelat bendera emas. Entah asing juga kulihat, wajahh putih, kulit putih. Jelas ini penjajah dulu. Mau apa mereka berkunjung ke pulau ini, atau ada maksud yang ingin dicari. Ya pulau sepi penghuni tiba-tiba ramai dihari yang sama. Apakah doaku terwujud ya Tuhan.
Cepat-cepat aku turunin anak tangga berjumlah 79 buah, ini merupakan hal yang luar biasa. Aku akan menemui berbagai manusia stekah 8 bulan sendiri tanpa penghuni yang dating ke pulau ini, hah.. lelah kulewati anak tangga, jangan kuatir aku masih kuat meski tubuh telah renta dimakan usia. Pintu masuk kubuka lebar, kulihat mereka menurunkan barang-barang. Beberapa sibuk mengikat kapal-kapal mereka. Dengan gemertar dan kaku kudekati mereka. Bingung apa yang mau kukatakan, tersenyum sajalah.
Salah seorang dari mereka memanggilku dari arah kiri, hei pak..
Ya…
Kesini pak, are you work in here?
Hah bahasa inggris pula, aduh aku mana mengerti bahasa penjajah ini.kujawab saja
Yes sir…
Ohh..great, can you help me for go to this place?
Maaf, bisa bahasa Indonesia tuan?
oo..maaf, saya lupa..bisa-bisa. Saya mau ke daerah gulo-gulo. Ini daerah apa jauh dari sini pak?
Kurang lebih 45 menit tuan, cukup jauh juga. Ada apa dengan daerah itu tuan?
Kami hanya ingin melihat pemandangan disana, katanya sangat indah.
Iya benar tuan, tapi begitu sepi dan tak ada penghuninya, para warga desa sudah pindah ke kota. Penuh misteri disana.
Iya, tidak apa-apa pak, kami bawa banyak teman. Terima kasih pak
Ehm..maaf pak, tapi saya tidak bisa mengantar kesana, saya sendirian di mercusuar ini. Tuan ikuti saja jalan lurus kearah pohon pinus, ada jalan yang terarah ke desa itu.
Oo begitu, iya pak tidak masalah. Terima kasih pak. Maaf saya belum kenal nama bapak siapa?
Sambil disodorkannya tanggannya kearahku, nama saya Wilhem
Saya Bagaskara tuan.
Baik, pak Bagaskara, kalau begitu kami menitip kapal disini untuk beberapa hari. Kami mohon pamit pak.
Hati-hati tuan.
Perjalanan atau semacam ekspedisi khusus entahlah, mereka berjumlah 57 orang bertujuan ke desa gulo-gulo. Entah apa yang mereka cari. Bagiku itu sebuah desa mati dan tidak indah sedikitpun, dasar manusia yang aneh. Ada-ada saja ingin kesana.
Aku kembali melanjutkan ke atas, kembali untuk istirahat. Hari ini luar biasa, ada yang berkunjung ke pulau ini meski kujumpai hanya sementara waktu, tapi ini sudah membuat hatiku riang. Sepi pergilah aku tak sunyi lagi sekarang.
Ah, empuknya kasur lipatku. Saatnya beristirahat dengan lelah, sebelum matahari terbenam harus kembali bekerja.
Entah kenapa didalam tidur yang hanya  beberapa saat, termimpi tentang anak dan sitriku yang menderita dikampung halaman, mereka menjerit teriak namaku, Ayah! Ayah!.. kembali kesini, kami diusir dari kampung, ah, semoga saja hanya mimpi, tidak nyata tidak nyata. Ini mungkin karena kerinduan yang memuncak hingga terbawa mimpi. Entah sebesar apa anakku sekarang, apa ia telah menemukan hobinya sekarang, apa telah bisa bertarung melawan waktu. Semoga semua yang kuimpikan menjadi nyata di awal tahun sepulangnya kekampung halaman.
Awal tahun 1994 ini adalah awal yang baik untuk meminta izin selama seminggu kepada bos, aku ingin menemui keluargaku, kurindu semuanya, hah terasa dekat sangat dekat. Tinggal sehari lagi, setelah itu. Aku akan memutuskan untuk kembali kesini atau tetap tinggal meneruskan sisa hidup dikampung halaman bersama keluarga tercinta.  Kira-kira apa yang dapat kuberikan sebagai buah tangan sebagai kado selama 8 bulan tak pulang ya, ah..sepertinya batu-batuan pantai yang beraneka jenis. Aku ingin membawa banyak kali ini, untuk tetangga dan kerabatku. Mulai kuturuni anak tangga menuju ke pantai sebelah, disini terkumpul banyak sekali batuan alami, ada yang hampir mirip batuan garnit yang terkena cahaya sangat indah. Ini ada banyak, syukurlah. Akan kubawa beberapa sebagai buah tangan, maklum gaji ini belum dapat membeli barang-barang untuk dijadikan buah tangan, terkadang saja aku tidak makan selama dua hari. Itu dikarenakan catering yang sudah jenuh memberiku hutang. Aku seringkali menghutang untuk makan, setiap awal bulan barulah kubayarkan semua. Ini seperi gali lobang tutup lobang. Hidup harus dijalani terus, sebelum semuanya berakhir. Tanpa menyerah akan terus kuusahakan jerih payah ini kepada keluarga, semua hanya untuk keluargaku. Semua untuk mereka. Semoga mereka tetap menungguku. Ya aku rindu.


Bab II
Kampung

Perjalanan menuju kekampung halaman kutempuh selama 36 jam, sangat jauh. Tidak masalah ini yang kutunggu selama berbulan-bulan. Perjalanan menuju pangkalan bis ditempuh sejauh 300 meter, cukup melelahkan, aku berjalan sanggup pula kulihat macam-macam keindahan tanaman menjadi penghias menuju pangkalan bis.
Perjalanan yang sangat panas membuat hari ini semakin membakar semanagatku, tak sabar untuk segera sampai dirumah.  Akhirnya sampai pada pangkalan bis, aroma hangat perjalanan panjang sungguh pekat tidak ada lagi keraguan akan apapun itu. Meski aku hany membawa tabungan sebesar 2 juta, kurasa cukup untuk membahagiakan keluargaku. Semoga mereka dapat memelukku sehangat dahulu. Aku tidak berubah, ya aku tak berubah. Hanya saja wajahku terlihat keriput ditelan kesendirian terasing dalam mercusuar yang sepi.
Tiket dari pulau teram ke sumatera barat sebesar Rp.400.000, untunglah tidak terlalu mahal. Hingga sisa uangku sebesar Rp. 1.600.000 cukuplah. Dua tas kutitipkan dibagasi, satu baju dan satunya lagi adalah buah tangan yang cukup banyak untuk dibbagikan kesemua tetangga dan kerabat. Akulah kado istimewa bagi keluargaku, anakku maafkan ayah baru bisa kembali saat ini. Ini kejutan buatmu sayang. Mendapat tiket bernomor urut 35, untunglah tidak dipaling belakang bisa mebok nanti. Jumlah penumpang 45, memang tidak terisi semua. Untunglah bis segera berangkat dan berlaju cukup kencang. Doaku dimulai untuk keselamatan perjalanan dan keluargaku. Semoga seluruh cintaku baik-baik saja disana. Melewati kota Aceh membuatku kagum akan segala kemajuan yang terjadi, sungguh diluar dugaan banyak gedung-gedung tinggi, mall-mall mewah berdiri di kota ini. Maklum aku hanya berkutat dipulau sendiri, tak tahu apa yang terjadi diluar.
Orang-orang sibuk melihat bis ini, memang bis membuat hati para pendatang menjadi terketuk hatinya untuk kembali, mungkin saja mereka sama sepertiku orang yang merantau jauh dari daerah asal.
Seorang wanita renta duduk disebelahku, nenek tua yang sangat kuat. Ia diam sedari tadi entah apa yang dipikirkannya. Aku ingin memulai pembicaraan, mencoba mengenal dan menghilangkan penat.
Nek. Mau kemana?
Saya mau pulang kerumah nak. Kamu mau kekampung juga?
Ya nek, saya sudah lama tidak pulang, kangen dengan keluarga.
Syukurlah, jika kau masih ingat kampung nak, banyak anak muda yang melupakan tanah kelahiran mereka, dan satu lagi beruntung dirimu masih mempunyai keluarga tidak seperti nenek.
Memang ada apa nek dengan keluarga nenek? 
Keluarga nenek sudah habis nak…mereka meninggal.
Innailahi…maafkan saya nek, saya tidak bermaksud. Maaf nek, tabahlah nek, mungkin sudah jalan yang diatas. Boleh saya tahu meninggal karena apa nek?
Mereka ditelan arus nak, semuanya habis. Anak, cucu dan cicit nenek. Tinggal nenek sendirian, nenek ingin berkunjung ke makam mereka dikampung.
Kalau begitu saya antarkan nenek kekampung. Dimana kampung nenek?
Batusangkar nak, kamu dimana?
Apa nek, batusangkar!
Aku terkejut mendengarnya, batusangkar. Itu kampung halamanku. Ada apa ini, perasaan bercampur aduk.
Ya, batusangkar..kenapa nak?
Itu kampung saya juga nek, keluarga saya disana semua. Saya besar dikampung dan merantau kesini sejak umur 30 tahun. Jika benar kejadian tersebut, apa keluarga saya selamat nek? Saya tak sanggup mendengar cerita nenek.
Berdoalah nak, semua ada dihatimu, berdoalah agar semuanya baik-baik saja. Pikirkan positif dan buatlah harapan ke keluargamu.
Ya nek, saya harap begitu.
Perasaanku semakin tak menentu mendengar kejadian bencana yang terjadi di kampungku, jika saja ini tak kudengar maka tak akan bercampur aduk pikiran ini.  Sebuah perjalanan yang memang menguras beban pikiranku saat ini, ya Allah lindungilah seluruh keluargaku, hanya kepadaMulah aku memohon. Aku takut, aku takut sekali kehilagan mereka. Memang salahku menjauh sebagai kepala keluarga dan membiarkan anak istri dikampung, aku memang bersalah sebagai seorang suami.

Kali ini sudah harus kubulatkan tekad untuk tidak kembali ke mercusuar itu, aku ingin merajut hari-hari tua bersama anakku serta istri yang setia dengan hari-hari. Kenapa aku tidak memikirkan mereka, apa firasatku telah mati sampai saat ini, ah tidak. Aku hanya asyik dengan pekerjaan dan kesendirian membuatku terlena. Subahannallah, aku bersalah sampai detik ini. Uang yang kukirmkan saj tidak mencukupi untuk keluarga, kenapa aku pecundangi diriku snediri. Bekerja menjauh dengan gaji yang kecil. Apa tidak ada pekerjaan lain? Apa diri ini tidak mampu mencari pekerjaan yang pantas yang berada didekat rumah? Semuanya adalah pertanyaan-pertanyaan yang membunuh pikiranku, sendiri membuatku tetap berkutat pada itu-itu saja. Pikiranku tak terkembang, ditelan lautan sepi dimalam hari. Semoga ini merupakan petunjukMu ya Allah, aku iingin kembali.
Kembali menyudahi semua dan memulai sesuatuu yang baru, seperti kelahiran tawaku kembali. Kampungku aku kembali, sambutlah aku beberapa jam lagi.

 Saksikan kelanjutannya pada bulan Februari 2012, pada peluncuran Novel ini...terima kasih telah berkunjung...jangan lupa komentarnya ya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar