Ayahku Dalam Karikatur Abstaksi Mimpi
Sore itu lorong
waktu berkecamuk memukul hari-hariku, teman-teman asyik bermain diluar dengan
manja dan tertawa, akulah anak-anak yang tiada pernah merasakan permainan
dengan keindahan bersama… berawal dari pustaka hari, umurku baru 5 tahun.
Ayah…ayah dalam mimpiku kata ibu, kenapa nak?
Ibu : Kamu
bermimpi lagi? Yan rindu Ayah bu, kemana ayah. Ayah bu. Ayah!.
Ibuku hanya
terdiam dalam kabut malam itu. Tepat pukul 03.12 wib ibuku terisak di ruang
dapur, aku mendengar sesayup doa yang cukup mencenggangkan hati. Ibuku berkata, jika bukan karena anak-anakku
ya Allah” aku ingin menemuiMU ya Allah, Ya Allah, mengapa jalan hidup
keluargaku begitu menyedihkan.
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari mendekkati
ibu, ibu kenapa menangis (sambil kupeluk dengan erat bahu atasnya).
Ibu :
Ibu gak apa-apa nak, Cuma shalat aja. Kamu kenapa belum tidur yan?
Yan : terbangun bu, mendengar tangisan ibu, yan
khawatir. Sudah, sudah…gak apa-apa, sekarang tidur ya.
Ibu : Ibu mau memasak lagi untuk jualan esok
pagi.
Yan : Iya bu…
***
Pagi yang
dipunguti hujan deras…ibuku masih dalam kesibukkannya memasak dan membuat
kue-kue kecil untuk dititipkan ke sekolah dasar.
Yan : pagi
bu…ibu sudah sarapan?
Ibu : belum nak, ibu masih sibuk membuat kue,
o iya kamu tolong ambilkan baskom itu.
Yan : ya bu…
sambil kuambil roti tawar untuk ibu
yan : Bu…ini
baskomnya, rotinya dimakan dulu bu.
Ibu : iya nak…
Memandang keluar
jendela, kutilik jelas anak-anak seumuranku bermain klereng, bermain
kejar-kejaran. Sedang aku hanya bias terdiam dirumah dan memperhatikan alur
permainan mereka.
Aku hanya bias
terdiam dan menduduki istana surge rumahku bersama ibu, kelahiranku normal kata
ibu, tapi dokter memvonis dengan penyakit tumor jinak di otakku. Inilah alas an
kuat ibuku melarang bermain, sedikit kelelahan aku bias jatuh pingsan dan
tergeletak tak sadarkan diri. Sama halnya dengan manusia yang sekarat.
Lingkungan yang berdebu menjadi alasan kuat
untuk bermain, memang lingkungan di sekitar rumahku tidak begitu nyaman, debu
adalah ratapan manusia sekitar. 90% udara bersih jarang kami hirup disekitar
rumah.
Pukul 07.00 wib, mentari mulai menarik
ulur cahaya, ibu telah siap dengan lampan tuanya dengan ratusan kue yang telah
dibuatnya. Siap untuk diantarkan ke sekolah dasar negeri 20.
Ibu : yan, ibu pergi dulu ya. Untuk
sarapan sudah ibu persipakan dimeja makan. Nanti setelah makan kamu jangan lupa
makan ya.
Yan : iya bu, ibu hati-hati di jalan.
Ibu : iya nak..Assalamualaikum…
Yan : walaikumsalam
Seperginya ibu dari rumah, ratapan
mataku kembali tertuju kesemua ruangan rumah. Entah kenapa kembali kucari ayah,
wajahnya, rupah dirinya dalam mimpiku. Lemari tua yang berada didalam kamar
menjadi acuan otakku untuk mencari tentang ayah, perlahan kucari dan kucari
dengan harap. Dibawah lemari dengan tumpukkan baju, tanpa sengaja kutemukan
secarik surat dari…Abdul Wahab. Teruntuk Sulastri.
Kubaca perlahan, dengan gemetar.
Teruntuk
istriku tercinta…
Sulastri
Senin,12 januari 1982
Ma,
aku pergi untuk mencari nafkah, maaf tanpa pamit aku tinggalkan secarik surat
ini. Aku berjanji akan kembali setelah sukses nnanti. Jagalah baik-baik Ardian
dirumah. Semoga Allah selalu melindungi mama dan Ardian.
Aku
pergi ma….
Abdul
Wahab
Selesai kubaca, kembali kucari apa lagi
peninggalan ayah untuk ibu. Tanpa kusadari didalam amplop tersimpan cincin
nikah ayah dan photo ukuran 3X4 yang using tersangkut zaman. Inilah ayahku,
akhirnya kutemukan rupanya. Betapa bahagia diriku dapat melihatnya walau ahnya
dalam bentuk photo dan rautan wajahnya aku yakin, dia pasti kembali untuk
keluarganya.
Tok…tok…
Assalamualikum…
Tok…tok….
Hah…aku terkejut, siapa diluar.
Cepat-cepat kurapikan berkas-berkas surat ketempat semula.
Assalamualikum…
Lastri…lastri…
Aku langsung berlari menlihat keluar
pintu…siapa diluar.
Walaikumsalam…
Yan : oo…tante ning, kenapa tante?
Ning : ibu belum pulang yan?
Yan : belum tante, ibu masih di sekolah,
mungkin sebentar lagi. Kenapa tante?
Ning : gak, ini ada surat dari pak pos
buat ibu.
Yan : iya tante, nanti yan sampaikan.
Terima kasih tante…
Ning : iya sama-sama yan, kalau begitu
tante mohon pamit ya
Yan : iya tante, hati-hati ya tante
Hari telah menyingsing hangat, ibu belum
juga pulang. Aneh tak seperti biasanya ibu belum pulang. Dan perasaanku semakin
heran dengan isi surat yang diberikan dari tante ning, diatasnya tertulis
teruntuk sulastri. Dan tidak ada alamat pengirim, hanya initial A.W. aku pikr
dengan keras, A.W, A.W, apa benar Abdul Wahab, tanyaku dengan keras…
Tanpa pikir panjang kubuka surat itu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar