Selasa, 08 November 2011

Gerhana Mengantar Duka



Gerhana Mengantar Duka
Mahabrata Liwangi


Sekedar ingin melihat langit yang terang pada pukul 11.35 WIB, langit menyiratkan hal yang sangat indah.
“Ibu... Ibu... Lihat ke langit. Cepat, Bu...” dengan wajah riang dan sambil berlari tergesa, seorang anak memanggil ibunya.
“Apa, Nak? Ada apa? Apa yang kau lihat?”
Soedibio mengangkat lengannya ke atas dan menunjuk kearah matahari yang tertutup perlahan, “Gerhana akan terjadi sebentar lagi, Bu.”
Ibu terdiam melihat kearah langit, ini merupakan kejadian alam yang baru dilihat semur hidupnya. Dengan wajah yang tercengang Soedibio dan ibunya terus melihat bayangan bulan yang menutup matahari perlahan.
Cahaya langit semakin redup dan mata tetap setia memandang kegelapan total yang akan terjadi sebentar lagi, gerhana total akan menunjukkan makna dari kuasa Ilahi. Inilah kebesaran Allah.
“Ibu, gerhana ini sangat indah, bukan?” ujar Soedibio sambil terus menatap langit.
Ibunya mengangguk perlahan dan tetap melanjutkan melihat gerhana.


totalitas bulan
akankah aku bisa meniru geraknya
perlahan dan memastikan gaya
tarik ulur waktu
seiring bermain waktu
manusia hanyalah sekecil debu
jauh tak tertandinggi
aku ingin menirumu bulan
terang dan pelan
terang dan menerawangkan bayang
pasti menghujamkan makna
yang menyirat
yang usiakan manusia untuk berjalan
tegap dan tetap
teguh dan menyeluruh
elok dan menari tanpa lelah
asa pun ikut gentayang

***

Kami terhipnotis dengan keindahan gerhana yang terjadi, tanpa mengetahui penyebab gerhana dan asal usulnya. Kami hanya bisa terpukau dan terus menyaksikan keajaiban alam yang satu ini, tanpa mengetahui dampak yang timbul ketika cahaya yang begitu terang tiba-tiba datang setelah gelap total secara penuh.
Sesaat matahari tertutup penuh. Tiba-tiba, sekilat cahaya menyembur dari balik bayangan bulan. Cahaya yang dipancarkan begitu terang dan...
“Aaaaa...aaaaa!!” aku dan ibu berteriak kesakitan setelah menerima cahaya kilat yang keluar barusan. Cahaya itu membuat mataku dan ibu sakit.
Ayah terkejut mendengar dari dalam rumah, dan panik mengejar kami ke luar, “Hah?! Ada apa, Bu, Dibyo?”
“Mata ibu sakit, Yah...”
Aku terdiam dan mengusap-usap mataku dengan kedua tangan. Ada apa ini? Kenapa penglihatanku semakin kabur setelah kuusap?
Dengan panik kutanyakan pada ibu, “Ibu, bagaimana mata Ibu?” 
“Kabur, Nak,” terdengar olehku suara lemah ibu.

***

Pak Marno terdiam. Ia bingung memikirkan pertolongan pertama untuk istri dan anaknya yang tiba-tiba tidak bisa melihat dengan jelas. Kabur dan berbayang, itu yang dikatakan istri dan anaknya.
Akhirnya, ia membawa istri dan anaknya menuju Rumah Sakit St. Boromeus untuk diperiksa matanya.
Pukul 12.00 WIB, sesampainya di rumah sakit, Dokter Frans langsung memeriksa istri dan anaknya yang berbaring di tempat tidur, “Saya periksa dulu ya, Bu.”
“Iya, Dok,” Bu Marno mempersilahkan.
Setelah memeriksa Bu Marno, Dokter Frans beralih memeriksa Soedibio. Setelah keduanya diperiksa, dokter mempersilahkan mereka untuk duduk.
“Ini adalah dampak dari intensitas cahaya berlebih yang tiba-tiba diterima oleh mata manusia saat pupil sedang membesar, Pak. Jadi, sebelum semuanya terlambat, ibu dan anak Bapak harus dirawat secara intensif secepatnya. Semoga tidak terjadi hal-hal yang lebih parah.
Pak Marno mengangguk pelan, “Baiklah, Dok. Jika harus dirawat, maka saya hanya bisa mengandalkan Dokter untuk kesembuhan mata anak dan istri saya.”
“Semoga saja, Pak. Kalau begitu saya akan suruh suster menyiapkan ruang inap.”

***

Aku dan ibu terpaksa dirawat untuk diperiksa. Hari semakin sore dan mataku semakin kabur. Tulisan-tulisan pada dinding kamar ini tak dapat kubaca.
Apa ibu sama sepertiku, tak dapat melihat dengan jelas juga? Tanyaku dalam hati.
Tak berapa lama kemudian, terdengar olehku Dokter Frans datang bersama seorang suster dan seorang lelaki tua yang setelahnya kuketahui juga seorang dokter.
Aku dan ibu kembali diperiksa. Dokter Frans memeriksaku menggunakan senter dan memberikan isyarat-isyarat jari. Aku hanya bisa menjawab satu isyarat dengan benar.
“Angka dua, Dok,” kataku. Pertanyaan lainnya tak dapat kujawab. Aku semakin was-was. Apakah aku akan buta? Bagaimana pula dengan ibu?
Terdengar pembicaraan para dokter didekat tempatku berbaring, ada kata-kata operasi dan perban.
Operasi! Hah... Aku tersentak terkejut, keringatku mengucur deras. Kututup mata dan mulai berdoa.
Setelah pergi beberapa menit, Dokter Frans kembali ke ruanganku. Mataku dan mata ibu diperban, agar visualisasi yang diterima mata tidak semakin parah. Mata harus ditutup agar keadaan bisa kembai normal besok. Itu pun baru kemungkinan akan sembuh. Jika tidak, aku dan ibu harus dioperasi.

***

Pagi telah kembali. Keputusan akan diambil setelah perban mataku dan perban mata ibu dibuka.
Keadaan tetap tidak berubah, mataku tetap kabur, sesekali hanya bisa melihat kelebat wajah orang-orang sekitar. Keadaan ibu lebih parah lagi, ia tidak bisa melihat apapun.
Operasi akhirnya dijalankan hari ini. Ayah memegang erat tangan ibu. Aku masih bisa melihat dengan kabur ketika ayah menangis mengantar kami ke ruang operasi.
Lampu merah diatas pintu operasi dinyalakan. Operasi mulai dilaksanakan.
Enam jam oprerasi sepertinya berjalan sukses. Mataku dan mata ibu diperban lebih erat.
Setelah kembali ke ruang inap, aku berkata pada ibu, “Bu, Su minta maaf. Gara-gara Su, semua ini terjadi.”
“Sudahlah, Nak. Ini cobaan dari Allah. Kita berdoa saja, meminta pertolongan-Nya.”
“Iya, Bu...,” aku menyentuh pelan perban pada mataku, dan berharap esok atau lusa penglihatanku kembali normal.

***

Sabtu, 28 Oktober 1995, ternyata Tuhan berkata lain. Perban dibuka dari mata dengan hasil mengagetkan. Ibu tetap tak bisa melihat, sedang mataku kembai pulih.
Aku menggenggam tangan ibu. Ayah memeluk erat ibu sambil menangis.
“Sudahlah, ini semua sudah terjadi, Yah. Mungkin sudah jalannya Ibu menjadi buta.
“Tidak!!!” ayah berteriak, “Tidak, Bu, masih ada jalan. Operasi pergantian kornea mata. Ibu harus bisa melihat kembali, melihat dunia dan taman kecil kita.
Terdengar ibu menangis kemudian terdiam, “Iya, Yah... Semoga Ibu bisa melihat kembali.”
Akulah yang bersalah atas kejadian ini, aku tidak akan pernah memaafkan diri ini. Karenaku, ibu menjadi buta.
Gerhana dan kejadian alam lainnya adalah kebesaran Tuhan. Manusia hanya insan biasa yang dapat menikmati keindahannya. Tapi sekarang apa yang dapat dilihat ibu setelah mengalami kebutaan? Semua gelap, semua tiada, yang ada hanyalah sesal yang teramat duka.

Aku : maaf, saya mengembalikan ini pak (berkas, kartu karyawan dan surat-surat lainnya).
Pak Trino : Apa ini! Apa maksud kamu?
Aku : Saya brehnti dari kantor ini pak, trima kasih!
Pak Trino : bungkam dalam diam
Dan dengan langkah pasti aku tinggalkan ruangan kantor yang kusebut Dunia Aneh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar