Gerhana Mengantar Duka
Mahabrata Liwangi
Sekedar ingin melihat langit yang terang pada
pukul 11.35 WIB, langit menyiratkan hal yang sangat indah.
“Ibu... Ibu... Lihat ke langit. Cepat, Bu...”
dengan wajah riang dan sambil berlari tergesa, seorang anak memanggil ibunya.
“Apa, Nak? Ada apa? Apa yang kau lihat?”
Soedibio mengangkat lengannya ke atas dan menunjuk
kearah matahari yang tertutup perlahan, “Gerhana akan terjadi sebentar lagi,
Bu.”
Ibu terdiam melihat kearah langit, ini merupakan
kejadian alam yang baru dilihat semur hidupnya. Dengan wajah yang tercengang
Soedibio dan ibunya terus melihat bayangan bulan yang menutup matahari
perlahan.
Cahaya langit semakin redup dan mata tetap setia
memandang kegelapan total yang akan terjadi sebentar lagi, gerhana total akan
menunjukkan makna dari kuasa Ilahi. Inilah kebesaran Allah.
“Ibu, gerhana ini sangat indah, bukan?” ujar
Soedibio sambil terus menatap langit.
Ibunya mengangguk perlahan dan tetap melanjutkan
melihat gerhana.
totalitas
bulan
akankah aku
bisa meniru geraknya
perlahan
dan memastikan gaya
tarik ulur
waktu
seiring
bermain waktu
manusia
hanyalah sekecil debu
jauh tak
tertandinggi
aku ingin
menirumu bulan
terang dan
pelan
terang dan
menerawangkan bayang
pasti
menghujamkan makna
yang
menyirat
yang
usiakan manusia untuk berjalan
tegap dan
tetap
teguh dan
menyeluruh
elok dan
menari tanpa lelah
asa pun
ikut gentayang
***
Kami terhipnotis dengan keindahan gerhana yang
terjadi, tanpa mengetahui penyebab gerhana dan asal usulnya. Kami hanya bisa
terpukau dan terus menyaksikan keajaiban alam yang satu ini, tanpa mengetahui
dampak yang timbul ketika cahaya yang begitu terang tiba-tiba datang setelah gelap
total secara penuh.
Sesaat matahari tertutup penuh. Tiba-tiba, sekilat
cahaya menyembur dari balik bayangan bulan. Cahaya yang dipancarkan begitu
terang dan...
“Aaaaa...aaaaa!!” aku dan ibu berteriak kesakitan
setelah menerima cahaya kilat yang keluar barusan. Cahaya itu membuat mataku
dan ibu sakit.
Ayah terkejut mendengar dari dalam rumah, dan
panik mengejar kami ke luar, “Hah?! Ada apa, Bu, Dibyo?”
“Mata ibu sakit, Yah...”
Aku terdiam dan mengusap-usap mataku dengan kedua
tangan. Ada apa ini? Kenapa penglihatanku semakin kabur setelah kuusap?
Dengan panik kutanyakan pada ibu, “Ibu, bagaimana mata
Ibu?”
“Kabur, Nak,” terdengar olehku suara lemah ibu.
***
Pak Marno terdiam. Ia bingung memikirkan
pertolongan pertama untuk istri dan anaknya yang tiba-tiba tidak bisa melihat
dengan jelas. Kabur dan berbayang, itu yang dikatakan istri dan anaknya.
Akhirnya, ia membawa istri dan anaknya menuju
Rumah Sakit St. Boromeus untuk diperiksa matanya.
Pukul 12.00 WIB, sesampainya di rumah sakit, Dokter
Frans langsung memeriksa istri dan anaknya yang berbaring di tempat tidur, “Saya
periksa dulu ya, Bu.”
“Iya, Dok,” Bu Marno mempersilahkan.
Setelah memeriksa Bu Marno, Dokter Frans beralih
memeriksa Soedibio. Setelah keduanya diperiksa, dokter mempersilahkan mereka untuk
duduk.
“Ini adalah dampak dari intensitas cahaya berlebih
yang tiba-tiba diterima oleh mata manusia saat pupil sedang membesar, Pak. Jadi,
sebelum semuanya terlambat, ibu dan anak Bapak harus dirawat secara intensif secepatnya.
Semoga tidak terjadi hal-hal yang lebih parah.
Pak Marno mengangguk pelan, “Baiklah, Dok. Jika
harus dirawat, maka saya hanya bisa mengandalkan Dokter untuk kesembuhan mata
anak dan istri saya.”
“Semoga saja, Pak. Kalau begitu saya akan suruh
suster menyiapkan ruang inap.”
***
Aku dan ibu terpaksa dirawat untuk diperiksa. Hari
semakin sore dan mataku semakin kabur. Tulisan-tulisan pada dinding kamar ini
tak dapat kubaca.
Apa ibu sama sepertiku, tak dapat melihat dengan
jelas juga? Tanyaku dalam hati.
Tak berapa lama kemudian, terdengar olehku Dokter Frans
datang bersama seorang suster dan seorang lelaki tua yang setelahnya kuketahui
juga seorang dokter.
Aku dan ibu kembali diperiksa. Dokter Frans
memeriksaku menggunakan senter dan memberikan isyarat-isyarat jari. Aku hanya
bisa menjawab satu isyarat dengan benar.
“Angka dua, Dok,” kataku. Pertanyaan lainnya tak
dapat kujawab. Aku semakin was-was. Apakah aku akan buta? Bagaimana pula dengan
ibu?
Terdengar pembicaraan para dokter didekat tempatku
berbaring, ada kata-kata operasi dan perban.
Operasi! Hah... Aku tersentak terkejut, keringatku
mengucur deras. Kututup mata dan mulai berdoa.
Setelah pergi beberapa menit, Dokter Frans kembali
ke ruanganku. Mataku dan mata ibu diperban, agar visualisasi yang diterima mata
tidak semakin parah. Mata harus ditutup agar keadaan bisa kembai normal besok. Itu
pun baru kemungkinan akan sembuh. Jika tidak, aku dan ibu harus dioperasi.
***
Pagi telah kembali. Keputusan akan diambil setelah
perban mataku dan perban mata ibu dibuka.
Keadaan tetap tidak berubah, mataku tetap kabur,
sesekali hanya bisa melihat kelebat wajah orang-orang sekitar. Keadaan ibu
lebih parah lagi, ia tidak bisa melihat apapun.
Operasi akhirnya dijalankan hari ini. Ayah
memegang erat tangan ibu. Aku masih bisa melihat dengan kabur ketika ayah
menangis mengantar kami ke ruang operasi.
Lampu merah diatas pintu operasi dinyalakan. Operasi
mulai dilaksanakan.
Enam jam oprerasi sepertinya berjalan sukses. Mataku
dan mata ibu diperban lebih erat.
Setelah kembali ke ruang inap, aku berkata pada
ibu, “Bu, Su minta maaf. Gara-gara Su, semua ini terjadi.”
“Sudahlah, Nak. Ini cobaan dari Allah. Kita berdoa
saja, meminta pertolongan-Nya.”
“Iya, Bu...,” aku menyentuh pelan perban pada
mataku, dan berharap esok atau lusa penglihatanku kembali normal.
***
Sabtu, 28 Oktober 1995, ternyata Tuhan berkata
lain. Perban dibuka dari mata dengan hasil mengagetkan. Ibu tetap tak bisa
melihat, sedang mataku kembai pulih.
Aku menggenggam tangan ibu. Ayah memeluk erat ibu
sambil menangis.
“Sudahlah, ini semua sudah terjadi, Yah. Mungkin
sudah jalannya Ibu menjadi buta.
“Tidak!!!” ayah berteriak, “Tidak, Bu, masih ada
jalan. Operasi pergantian kornea mata. Ibu harus bisa melihat kembali, melihat
dunia dan taman kecil kita.
Terdengar ibu menangis kemudian terdiam, “Iya,
Yah... Semoga Ibu bisa melihat kembali.”
Akulah yang bersalah atas kejadian ini, aku tidak
akan pernah memaafkan diri ini. Karenaku, ibu menjadi buta.
Gerhana dan kejadian alam lainnya adalah kebesaran
Tuhan. Manusia hanya insan biasa yang dapat menikmati keindahannya. Tapi
sekarang apa yang dapat dilihat ibu setelah mengalami kebutaan? Semua gelap,
semua tiada, yang ada hanyalah sesal yang teramat duka.
Aku : maaf, saya
mengembalikan ini pak (berkas, kartu
karyawan dan surat-surat lainnya).
Pak Trino : Apa
ini! Apa maksud kamu?
Aku : Saya
brehnti dari kantor ini pak, trima kasih!
Pak Trino : bungkam dalam diam
Dan dengan
langkah pasti aku tinggalkan ruangan kantor yang kusebut Dunia Aneh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar