Menyibak Wajah Meja 7
Mahabrata
Liwangi
Serasa mimpi dan
berkali-kali mimpi, wajahnya seperti dewi yang tiada cacat sedikitpun. Ah! Apa
benar aku bermimpi? Kutepuk wajahku. Aku tidak bermimpi, kawan...
“Ky, lihat aku
tak bermimpi. Hahaaa...” kataku setengah sadar mencolek-colek keras bahu Ricky.
“Lah piye toh? Memang
itu wanita sungguhan, Bro,” kata Ricky sambil menghindar dari colekanku.
Kesakitan.
“Ah payah kau
ini. Dari kemarin gak berani kenalan. Sudah lima hari kita berulang datang ke
kafe ini,” kata Sitorus sambil merentangkan kedua tangannya ke sandaran sofa.
“Bukan gitu,
Bro. Aku harus cari waktu yang tepat buat dekatin dia. Kita harus punya mapping
love dong, alias peta cinta,” aku berdalih.
“Bah, bicara apa
kau ini? Mapping love, mapping love... Ah, repot kali. Love langsung lah! Gak
usah kau pake mapping-mapping. Nanti keriting kau!” Sitorus menepuk bahuku.
Keras. Membuatku nyaris mencium meja.
“Hahahahaha...”
semua terbahak melihatku dan Sitorus.
Aku seperti tak
sanggup menahan kekaguman melihat keanggunannya. Mataku tak henti
memelototinya. Kulit putih, wajah polesan asia, tubuh molek bak model, artis
pun kalah dengan gadis ini. Sangat luarrr biasa! Cepat atau lambat aku harus
mengenalnya. Ia idaman setiap lelaki, calon ibu yang baik. Alah, dari mana aku
tahu? Apakah ia baik secara batiniah? Semoga saja.
Dalam diam, aku
tak berdaya melihat tarian wajahnya, tiap malam ia hadir di mimpiku. Seakan ada
kaitan hati yang teramat kuat.
Hai, pekalah. Aku disini menunggu sapamu.
Kuserahkan
seluruh tatapanku ke arahnya. Ini hari keenam, semoga ia bertekuk melihat sapa
mataku. Di hadapannya ada tiga wanita yang sedang asyik saling tertawa. Mungkin
membicarakan hal-hal lucu.
Hei, lihat ke sini! Ah kaca mata kuda juga
ni cewek.
Gaun merah yang ia
kenakan membuat warna hatiku memerah penuh cinta.
Kasih, aku ingin kamu. Kapan kita bertatap
dekat? Kuingin menjadi satu dalam tubuh, meliukkan tubuh kita jadi satu di meja
ini.
Hari ketujuh di
meja yang sama, kupikir inilah saatnya kuberanikan diri untuk berkenalan
dengannya. Ia duduk di meja biasa, meja 7. Kebetulan ia sedang sendiri. Ini
waktu yang tepat. Aku bergegas merapikan rambut dengan sisir tuaku dan
menghampirinya.
“Hai...” suaraku
sedikit bergetar grogi ketika menyapanya.
“Hai juga...”
gadis itu menjawab ramah, tiba-tiba keningnya sedikit berkerut “Hei, Lintang?”
Hah! Dia tahu
namaku! Dari mana dia tahu namaku? Aku terpaku.
“I...iiya. Kok
tahu namaku?” aku tergagap terkejut.
“Ini aku,
Lintang. Ayuni, teman SMA-mu.”
Aku sama sekali
tidak ingat padanya, ada apa dengan memoriku? Sampai melupakan temanku sendiri.
“Ayuni???
Teman?? Aku baru mengenalmu sekarang. Aku sering memandangmu dari meja depan,”
aku menunjuk-nunjuk meja dan sofa tempat aku biasa duduk.
“Lintang…”
katanya penuh prihatin, “Aku tahu semua kejadian di dirimu. Dulu kita teman
dekat. Kau hilang ingatan lima tahun lalu gara-gara kecelakaan beruntun di
jalan Sudirman. Kau mengendarai Honda Civic waktu itu.”
“Aaaa..aku
hilang ingatan?!” aku masih tak percaya.
“Iya, sepertinya
kamu melupakan segalanya. Tapi kami tetap ingat kamu, Lintang.”
Aku berbalik dan
berlari menjauh dari mejanya.
“Lintang...
Lin...” Ayuni berusaha memanggilku kembali.
Tak kuhiraukan
teriakan Ayuni. Aku hilang ingatan, dan sekarang aku baru tahu ia temanku.
Aku hilang
ingatan! Sungguh hilang atau memoriku sementara dipindahkan Tuhan ke kantong
celanaku?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar