Selasa, 08 November 2011

Menyibak Wajah Meja 7


Menyibak Wajah Meja 7
Mahabrata Liwangi

Serasa mimpi dan berkali-kali mimpi, wajahnya seperti dewi yang tiada cacat sedikitpun. Ah! Apa benar aku bermimpi? Kutepuk wajahku. Aku tidak bermimpi, kawan...
“Ky, lihat aku tak bermimpi. Hahaaa...” kataku setengah sadar mencolek-colek keras bahu Ricky.
“Lah piye toh? Memang itu wanita sungguhan, Bro,” kata Ricky sambil menghindar dari colekanku. Kesakitan.
“Ah payah kau ini. Dari kemarin gak berani kenalan. Sudah lima hari kita berulang datang ke kafe ini,” kata Sitorus sambil merentangkan kedua tangannya ke sandaran sofa.
“Bukan gitu, Bro. Aku harus cari waktu yang tepat buat dekatin dia. Kita harus punya mapping love dong, alias peta cinta,” aku berdalih.
“Bah, bicara apa kau ini? Mapping love, mapping love... Ah, repot kali. Love langsung lah! Gak usah kau pake mapping-mapping. Nanti keriting kau!” Sitorus menepuk bahuku. Keras. Membuatku nyaris mencium meja.
“Hahahahaha...” semua terbahak melihatku dan Sitorus.
Aku seperti tak sanggup menahan kekaguman melihat keanggunannya. Mataku tak henti memelototinya. Kulit putih, wajah polesan asia, tubuh molek bak model, artis pun kalah dengan gadis ini. Sangat luarrr biasa! Cepat atau lambat aku harus mengenalnya. Ia idaman setiap lelaki, calon ibu yang baik. Alah, dari mana aku tahu? Apakah ia baik secara batiniah? Semoga saja.
Dalam diam, aku tak berdaya melihat tarian wajahnya, tiap malam ia hadir di mimpiku. Seakan ada kaitan hati yang teramat kuat.
Hai, pekalah. Aku disini menunggu sapamu.
Kuserahkan seluruh tatapanku ke arahnya. Ini hari keenam, semoga ia bertekuk melihat sapa mataku. Di hadapannya ada tiga wanita yang sedang asyik saling tertawa. Mungkin membicarakan hal-hal lucu.
Hei, lihat ke sini! Ah kaca mata kuda juga ni cewek.
Gaun merah yang ia kenakan membuat warna hatiku memerah penuh cinta.
Kasih, aku ingin kamu. Kapan kita bertatap dekat? Kuingin menjadi satu dalam tubuh, meliukkan tubuh kita jadi satu di meja ini.

Hari ketujuh di meja yang sama, kupikir inilah saatnya kuberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Ia duduk di meja biasa, meja 7. Kebetulan ia sedang sendiri. Ini waktu yang tepat. Aku bergegas merapikan rambut dengan sisir tuaku dan menghampirinya.
“Hai...” suaraku sedikit bergetar grogi ketika menyapanya.
“Hai juga...” gadis itu menjawab ramah, tiba-tiba keningnya sedikit berkerut “Hei, Lintang?”
Hah! Dia tahu namaku! Dari mana dia tahu namaku? Aku terpaku.
“I...iiya. Kok tahu namaku?” aku tergagap terkejut.
“Ini aku, Lintang. Ayuni, teman SMA-mu.”
Aku sama sekali tidak ingat padanya, ada apa dengan memoriku? Sampai melupakan temanku sendiri.
“Ayuni??? Teman?? Aku baru mengenalmu sekarang. Aku sering memandangmu dari meja depan,” aku menunjuk-nunjuk meja dan sofa tempat aku biasa duduk.
“Lintang…” katanya penuh prihatin, “Aku tahu semua kejadian di dirimu. Dulu kita teman dekat. Kau hilang ingatan lima tahun lalu gara-gara kecelakaan beruntun di jalan Sudirman. Kau mengendarai Honda Civic waktu itu.”
“Aaaa..aku hilang ingatan?!” aku masih tak percaya.
“Iya, sepertinya kamu melupakan segalanya. Tapi kami tetap ingat kamu, Lintang.”
Aku berbalik dan berlari menjauh dari mejanya.
“Lintang... Lin...” Ayuni berusaha memanggilku kembali.
Tak kuhiraukan teriakan Ayuni. Aku hilang ingatan, dan sekarang aku baru tahu ia temanku.
Aku hilang ingatan! Sungguh hilang atau memoriku sementara dipindahkan Tuhan ke kantong celanaku?

***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar